Kamis, 16 Desember 2010

Makalah Thaharah

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.          Latar Belakang

Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap Tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam – macam, seperti Sholat puasa, naik haji, jihad, membaca Al-Qur'an, dan lainnya. Dan setiap ibadah memiliki syarat – syarat untuk dapat melakukannya, dan ada pula yang tidak memiliki syarat mutlak untuk melakukannya. Diantara ibadah yang memiliki syarat – syarat diantaranya haji, yang memiliki syarat–syarat, yaitu mampu dalam biaya perjalannya, baligh, berakal, dan sebagainya. Dan contoh lain jika kita akan melakukan ibadah sholat maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalah jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Hal sepeleh itu  membuat  ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur'an, naik haji, dan lain sebaginya. Dengan demikian penulis menulis makalah ini dengan mencari sumber dan informasi tentang air untuk bersuci, najis, dan  cara thaharah yg sempurna. Hal ini terjadi dikarnakan  seringnya  ditemukan penyepelehan tantang kesucian diri dari hadats maupun najis untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT.

1.2.         Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis merumuskan makalahnya tentang air untuk bersuci, najis, dan  bagaimana cara mensucikan diri dari hadats dan najis.

1.3.Tujuan   
  
Berdasarkan rumusan masalah, maka penulis menulis makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan sebagai tugas dari dosen tentang air untuk bersuci, najis dan cara thaharah atau bersuci dari hadats dan najis.





BAB 2 PEMBAHASAN

2.1.  Pengertian Thaharah

Thaharah menurut pengertian etimologis adalah suci dan bersih, seperti kalimat “Thahhartu al-tsauba”, maksudnya “aku mencuci baju itu sampai bersih dan suci”. Menurut pengertian syara’, thaharah adalah mensucikan diri dari hadats atau najis seperti mandi, berwudhu’, tayamum dan sebagainya. Masih dalam pengertian bersuci, kegiatan yang serupa dengan ketentuan di atas, seperti mandi atau mencuci dengan berulang kali, memperbaharui wudhu dan tayamum, mandi yang disunnahkan dan yang semakna dengan itu meskipun tidak bermaksud menghilangkan hadats atau najis.
Dalam pandangan Islam, masalah bersuci dan segala yang berkaitan dengannya merupakan kegiatan yang sangat penting, karena diantara syarat syahnya shalat ditetapkan agar orang yang mengerjakannya suci dari hadats, suci badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (Q.S. al-Baqarah, 2 : 222).

2.2. Air

Air yang dapat dipergunakan untuk bersuci adalah air yang bersih (suci dan mensucikan) yaitu air yang turun dari langit atau keluar dari perut bumi dan belum dipakai untuk bersuci. Air yang suci lagi mensucikan adalah:

a. Air hujan                                                                                                                                       b. Air sungai                                                                                                                                        c. Air sumur                                                                                                                                         d. Air laut                                                                                                                                              e. Air telaga (sumber, mata air)                                                                                                             f. Air embun                                                                                                                                             g. Air es (salju) yang sudah mencair

Keterangan mengenai macam air di atas, telah dikemukakan dalam uraian yang lalu, sedangkan pada air sumur diterangkan bahwa Rasulullah SAW ditanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau berwudhu’ dengan air sumur budhu’ah, padahal orang banyak, orang yang mens dan junub datang ke sana”.
Nabi bersabda : “Air itu suci, tidak dinajiskan oleh suatu apapun”. (dihasankan Turmudzi, dishahihkan oleh Ahmad dan lainnya).
Selain air tersebut, tidak dianggap suci lagi dapat mensucikan, seperti: air kelapa, air teh, kopi, susu sekalipun air tersebut suci. Demikian pula air musta’hil (air yang talah dipergunakan untuk bersuci) yang kurang dari dua kullah (190 liter).



2.3.  Pembagian Air
1.      Air sebagai alat untuk bersuci, dibagi menjadi empat bagian, yaitu air yang suci dan mensucikan,  air yang suci tetapi tidak dapat mensucikan,  air yang terkena najis,  air yang makruh untuk digunakannya.
2.      Air yang suci dan dapat mensucikan adalah air yang asli, disebut juga air mutlak. Ia boleh               diminum, bisa mensucikan sesuatu yang kena najis dan bisa untuk bersuci secara umum. Air yang termasuk dalam kategori ini adalah air yang asli, bukan air yang telah dipakai untuk bersuci, seperti air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumberan dari mata air, air embun, air es dan sebagainya. Perubahan air dari air yang asli, tidak selamanya mengubah status air itu yang suci dan mensucikan, seperti dalam perubahan berikut ini :                                                       
a.       Berubahnya air disebabkan oleh tempatnya, seperti air yang mengalir pada batu kapur atau batu belerang.
b.      Perubahan air karena lama tergenang dalam kolam atau bak mandi.
c.       Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti disebabkan oleh ikan atau tumbuh-tumbuhan air.
d.      Berubah disebabkan oleh tanah yang suci, demikian juga perubahan-perubahan yang disebabkan oleh sesuatu yang sulit dihindari, seperti daun-daunan yang berjatuhan kedalamnya atau batang pohon yang runtuh sehingga mengenai air tersebut. (Taqy al Din : tt, h.7 bandingkan Sulaiman Rasyid : 1994, h.29).
3.      Air suci tetapi tidak mensucikan, status air itu suci, tetapi tidak bisa digunakan untuk bersuci atau mensucikan benda yang terkena najis. Termasuk dalam kelompok ini terdapat tiga macam air, yaitu :
a.       Air yang telah berubah salah satu sifatnya, disebabkan bercampur dengan benda yang suci, selain dari perubahan tersebut di atas, seperti air kopi, air susu dan yang serupa dengan itu.
b.       Air yang sudah dipakai untuk bersuci disebut air musta’mal, yang tidak berubah sifatnya dan air itu jumlahnya kurang dari dua qulah. Air dua qulah, kurang lebih berukuran satu hasta, lebar, panjang dan tingginya atau kira-kira berukuran 60 cm3 (Taqy al Din : tt, h.11). mengenai penjelasan ini banyak dikemukakan pendapat para ahli yang bervariasi. Sebagai pedoman awal kita pegangi pukuran tersebut.

c.       Air pohon-pohonan atau buah-buahan, seperti air yang keluar dari batang pohon tebu, batang aren, air kelapa dan serupa dengan itu.

     Air yang kena najis, ada dua macam yaitu:
a.       Air yang berubah salah satu sifatnya karena najis, air ini dihukumi najis, tidak boleh dipakai untuk bersuci, baik air itu dalam jumlah sedikit ataupun banyak.
b.      Air yang terkena najis yang tidak berubah salah satu sifatnya, bila sedikit, kurang dari dua kullah maka hukumnya najis dan tidak boleh digunakan untuk bersuci. Bila jumlahnya mencapai dua qulah atau lebih maka hukumnya menjadi suci dan mensucikan. Nabi SAW bersabda : “Air itu tidak dinajiskan sesuatu, kecuali bila berubah rasa, warna atau baunya”. (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqqi). “bila air itu mencapai dua qulah tidak dinajiskan oleh suatu apapun”. (H.R. Ahli Hadits yang Lima).

4.      Air yang makruh dipakai adalah air yang terjemur sinar matahari dalam bejana, selain bejana emas dan perak. Air itu tetap suci dan mensucikan, tetapi makruh digunakan untuk bersuci berkaitan dengan tubuh, tidak dimakruhkan untuk mencuci pakaian. Air yang terkena panas matahari yang berada dalam kolam, sawah, danau dan sebagainya, tidak dimakruhkan untuk bersuci. Diriwayatkan dari Aisyah, sesungguhnya ia telah memanaskan air pada sinar matahari maka bersabda Rasulullah SAW. Kepadanya : “Jangan berbuat begitu wahai Aisyah, sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit supak”. (H.R. Baihaqi).

2.4. Najis 
                                                                                                                                
Segala macam benda, hukum dasarnya adalah suci, kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa benda itu najis. Benda-benda yang tergolong najis berdasarkan dalil syar’i adalah :
1.      Bangkai, kecuali bangkai belalang dan ikan, baik ikan tawar maupun laut.
2.      Darah.
3.      Nanah.
4.      Kang keluar dari dua jalan manusia, qubul atau dubur, seperti tinja, air seni, wadi dan madzi, kecuali air mani.
5.      Muntahan.
6.      Khamr atau minuman keras.
7.      Anjing.
8.      Babi.
9.      Air susu hewan yang haram dimakan.
10.  Bagian hewan yang dipisahkan dari tubuhnya.

Keterangan di atas berdasarkan pada dalil sebagai berikut : Firman Allah SWT : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala”. (Q.S. al-Maidah, 5 : 3). Bangkai belalang dan ikan berdasarkan pada sabda Nabi SAW: “Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu ikan, belalang, hati, dan limpah”. (H.R. Ibnu Majah). Kulit bangkai dan tulang yang telah disamak, hukumnya suci kecuali bangkai anjing dan babi, berdasarkan Hadits Nabi SAW : “Apabila kulit bangkai di samak, maka menjadi suci”. (H.R. Muslim).
Darah dan nanah tergolong najis berdasarkan ayat di atas, kecuali darah yang menempel pada hati dan limpah yang sulit dihilangkan, maka tidak diharamkan berdasarkan hadits yang menyatakan tentang halalnya ikan dan belalang. Najisnya kotoran yang keluar dari qubul dan dubur, seperti tinja, air kencing, wadi dan madzi berdasarkan sabda Nabi SAW : “Sesungguhnya Rasulullah SAW, ketika diberikan kepadanya dua biji batu dan tinja kering yang keras, untuk dipakai istinja’, beliau mengambil kedua batu itu sedangkan tinja beliau tolak, seraya bersabda : “Tinja ini najis”. (H.R. Bukhari).
Mengenai najisnya air kencing, wadi dan madzi dijelaskan Nabi SAW. Ketika seorang Badwi kencing dalam masjid, Nabi bersabda : “Bersihkanlah air kencing itu dengan seember air”. (H.R. Baihaqi dan Muslim). dari Ali kw. Berkata: Aku seorang pria yang sering keluar madzi, aku malu untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, karena sebagai menantunya maka aku perintahkan seseorang untuk bertanya kepada beliau. Nabi menjawab : “Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu’”. (H.R. Muslim). Madzi adalah sedikit cairan yang agak kental yang keluar dari kemaluan, disebabkan oleh adanya sedikit rangsangan, keluarnya cairan ini biasanya tidak terasa. Sedangkan wadi adalah sedikit cairan yang agak kental, yang keluar dari kemaluan, biasanya mengiringi air kencing atau karena terlalu lelah, sehabis bekerja (Sayyid Sabiq): 1998, h. 20). Muntahan disepakati sebagai bagian dari najis karena kotor, makanan yang telah muntah itu telah masuk dalam perut, maka dihukumi najis.
Air mani hukumnya suci, berdasarkan pada keterangan, bahwa Nabi SAW ditanya mengenai air mani yang menempel pada pakaian, beliau menjawab : “Air mani itu seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu membersihkannya dengan secarik kain atau sehelai daun”. (H.R. Baihaqi, Daru Quthni dan Thahawi). Meskipun suci, air mani disunnahkan untuk dicuci apabila basah dan dibersihkan atau dikerok bila kering.
Berkata Aisyah ra : “Ku kerok mani itu dari kain Rasulullah SAW bila ia kering dan kucuci bila ia basah”. (H.R. Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar).
Minuman keras atau khamer, dihukuni najis berdasarkan pada firman Allah : “...Sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan”. (Q.S. al-Maidah 5 : 90).* Anjing dan babi termasuk benda yang najis, berdasarkan ayat al-Qur’an yang mengharamkan daging babi dan sabda Nabi SAW yang menjelaskan najisnya anjing. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW : “Cara mencuci bejanamu yang dijilat oleh anjing, adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali yang pertamanya hendaklah dicampur dengan tanah”. (H.R. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi).
Air susu hewan yang tidak halal dimakan tergolong najis, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Fathul Mu’min : “Yang tergolong najis adalah empedu dan air susu hewan yang tidak dimakan, kecuali manusia”. (Zain al-Din, tt. H. 11). Sedangkan bagian hewan yang dipisahkan dari tubuhnya selagi masih hidup, dianggap najis, karena dikategorikan sebagai bangkai. Bulu hewan yang halal dimakan hukumnya suci, misalnya bulu ayam, burung, kambing dan sebagainya. Firman Allah SWT: “...dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)”. (Q.S. an-Nahl, 16 : 80).

2.5. Pengelompokan Najis dan Cara Mensucikannya
Ahli Fiqh membagi najis, dari segi berat dan ringannya, menjadi tiga bagian, yaitu: najis Mughallazhah atau najis yang berat, najis Mutawasithah atau pertengahan dan najis Mukhafafah atau najis yang ringan. Najis mugallazhah ada pada anjing dan babi. Cara mencucinya adalah membasuh benda yang kena najis itu sampai hilang materi najisnya, warna, bau dan rasanya, dibasuh sampai tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah. Najis Mutawasithah adalah najis-najis yang telah disebutkan di atas, selain anjing dan babi, seperti kotoran, bangkai dan sebagainya. Najis Mukhafafah adalah air kencing anak bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu.
Cara membersihkan semua najis tersebut adalah harus hilang, materi najis itu, warna, rasa dan baunya. Sedangkan najis mukhafafah cukup dengan memercikkan air kepadanya.
Penjelasan mengenai beberapa dalil mengenai najis tersebut telah diuraikan pada kajian mengenai benda-benda najis, sedangkan mengenai cara mensucikan benda yang terkena najis mukhafafah disebutkan sabda Nabi SAW : “Kencing anak perempuan dibasuh dan kencing anak laki-laki diperciki air”. (H.R. Tirmidzi).
Dari segi hukumnya, najis dibagi menjadi dua bagian yaitu: najis ‘ainiyah dan najis hukmiyah. Najis ‘ainiyah adalah benda najis yang masih ada materinya, seperti zat, rasa dan bau. Najis hukmiyah adalah najis yang materinya sudah hilang, seperti air kencing yang sudah kering. Secara hukum ia najis tapi materi najisnya sudah hilang, cara mensucikan benda yang terkena najis ‘ainiyah, dicuci sehingga hilang materi najis itu, rasa, warna dan baunya. Kecuali warna atau bau yang sangat sulit dihilangkan maka dimaafkan. Benda yang kena najis hukmiyah, cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada benda tersebut.

2.6. Istinja : Bersuci Karena Buang Air
Apabila seorang buang air besar air kecil, diwajibkan bersuci atau istinja dengan air atau dengan tiga buah batu. Yang dimaksud dengan batu adalah tiap-tiap benda yang keras, suci dan kesat seperti kayu dan sebagainya. Menurut hemat penulis, pada saat sekarang ini sangat sulit bila mencari batu untuk bersuci, karena itu bila tidak ada air bisa dilakukan dengan tissue atau yang sejenisnya. Syarat istinja dengan batu, kayu atau tissue, hendaklah sebelum kotoran itu kering dan kotoran itu tidak mengenai tempat lain selain tempat keluarnya. Bila kotoran itu telah kering dan telah mengenai tempat lain selain tempat keluarnya, maka tidak disyahkan istinja dengan batu, kayu atau tissue, tetapi harus bersuci dengan air.
Uraian tersebut berdasarkan pada beberapa hadits berikut: “Sesungguhnya Rasulullah melewati dua kuburan, seraya bersabda : Sesungguhnya kedua orang yang ada dalam kuburan itu sedang disiksa. Salah satunya disiksa karena mengadu domba sesama manusia dan yang lain disiksa karena tidak bersuci dari kencingnya”. (H.R. Bukhari & Muslim). “Apabila salah seorang diantaramu bersuci dengan batu, hendaklah batu itu hitungannya ganjil”. (H.R. Bukhari & Muslim). “Berkata Sulaiman : Rasulullah SAW melarang kami untuk bersuci dengan batu kurang dari tiga”. (H.R. Muslim).

2.7. Berwudhu
Wudhu adlah bersuci untuk menghilangkann hadats kecil dengan menggunakan air yang suci lagi dapat mensucikan pada anggota tubuh yang telah ditentukan.
Orang yang hendak melaksanakan shalat wajib berwudhu, karena wudhu merupakaqn syarat       sahnya shalat.
1.      Syarat-syarat fardhu wudhu
Syarat-syarat ini harus dipenuhi, jika ditinggalkan salah satunya saja, maka wudhunya tidak sah.
a.       Islam
b.      Muayyiz (tamyiz), artinya dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk sesuatu pekerja, oleh sebab itu dia sudah baliqh dan berakal (sehat).
c.       Tidak berhadats besar (kecuali wudhunya diniatkan untuk mendahului mandi wajib)
d.      Dengan air suci yang mensucikan
e.       Tidak ada sesuatu yang mengalangi (sampainya) air keanggota wudhu, seperti: getah, cat, dan yang lainnya.
2.      Rukun (fardhu) wudhu
Niat, ( dalam hati) ketika membasuh bagian pertama dari muka. Sedangkan mengucapkan (melafalkan) niat dengan lisan adalah sunnat (memudahkan hati berniat).
Lafazh niat wudhu adalah.
Nawaitul wudhu-a liraf’il hadatsil ash-ghari fardhan lilaahi a’aala.
Artinya : “saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil fardhu karena Allah Ta’ala”.
3.      Hal-hal yang membatalkan wudhu
Seseorang yang telah berwudhu diperbolehkan mengerjakan shalatbeberapa kali, asalkan belum batal (rusak). Sedangkan yang membatalkan wudhu adalah.
a.       Mengeluarkan sesuatu baik dari kubul atau dubur, baik berupa zat atau angin , seperti: kencing, buang air besar, atau kentut.
b.      Hilang akal karena gila, pingsan mabuk, atau tidur nyeyak tidak dalam posisi duduk (yang memungkinkan kentut).
c.       Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan (keduanya dewasa) yang bukan muhrim (kelurga yang tidak boleh dinikahi)
d.      Menyantuh alat kelamin atau dubur dengan telapak tangan baik kemaluan anak-anak, atau dewasa, kemaluan sendiri atau milik orang lain.
4.      Do’a sesudah berwudhu
Selesai berwudhu disunnatkan membaca do’a dalam posisi menghadap kearah kiblat sambil mengangkat kedua tangan :

Asyadu an-laa ilaaha illallahu wahdahuu laa syariika lahu, wa-asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu. A’laahummaj’alnii Minat tawwabiina waj’alnii minal mutathahhiriin waj’alnii min’ibaadikash shaalihiina.

Artinya : “aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku orang yang bertaubat dan jadikanlah aku orang yang suci, serta jadikanlah aku (golongan) dari orang-orang yang saleh”.

2.8. Tayammum
Tayammum ialah mengusap debu (tanah) yang suci ke muka dan kedua tangan sampai siku-siku dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Tayammum dapat dijadikan sebagai ganti dari wudhu atau mandi bagi orang yang tidak diperbolehkan mengunakan air karena sakit dan dalam perjalanan yang sukar mendapatkan air.
1.      Syarat-syarat Tayammum
diperbolehkan bertayammum dengan beberapa syarat :
a.       Tidak mendapatkan air, padahal sudah berusaha (optimal) menbarinya.
b.      Sudah masuk waktu shalat.
c.       Dilarang mengunakan air (diagnosa dokter) karena sakit, dan apabila dipaksakan akan menambah parah.
d.      dengan tanah subi dan berdebu.
2.      Rukun (fardhu) Tayammum
Bagi yang mengerjakan tayammum harus memenuhi rukun-rukunnya.
a.       Niat karena hendak mengerjakan shalat.
b.      Mengusap muka dengan debu tanah (yang suci).
c.       mengusap kedua tangan hingga siku-siku.
d.      Tertib (berurutan)
3.      Sunat-sunat Tayammum
Dalam mengerjakan tayammum disunnatkan.
a.       Membaca “Basmalah” sebelum bertayammum.
b.      Mengusap debu yang ada pada kedua telapak tangan agar menipis.
c.       berdo’a setelah bertayammum, seperti do’a setelah wudhu.
4.      Fungsi Tayammum
Tayammum dapat berfungsi sebagai pengganti wudhu atau mandi (wajib). Namun terdapat perbedaan penggunaannya :
a.       Setiap kali tayammum hanya dapat dipengunakan untuk mengerjakan satu kali shalat fardhu, tetapi boleh digunakan beberapa kali shalat sunnah.
b.      Untuk anggota wudhu atau tayammum yang tebalut (karena sakit), maka cukup dengan mengusap pembalutnya saja.
5.      Hal-hal yang Membatalkan Tayammum
a.       Tiap-tiap yang membatalkan wudhu, juga membatalkan tayammum.
b.      Melihat (mendapat) air sebelum shalat.
c.       Murtad (keluar dari islam).
Untuk lebih jelasnya, ikuti langkah-langkah berikut:
1.      Menekankan kedua telapak tangan diatas debu sambil membaca “bismillaahir Rahmaanir Rahiim”.
2.      Setelah debu melekat pada kedua talapak tangan, tiuplah perlahan-lahan agar tipis, usapkan ke muka (wajah) sambil berniat.
lafazh niatnya :

Nawaitul tayammuma lis-tibaatish shalaati fardhan lillahi ta’aalaa

Artinya : “Aku berniat bertayammum untuk mengerjakan shalat, fardhu karna allah ta’ala”.
3.      Sisa debu pada telapak tangan harus dibuang. Selanjutnya tekan sekali lagi telapak tangan pada debu, dan tiuplah perlahan-lahan agar tipis. Usapkan pada tangan kanan hingga siku-siku, begitu juga pada tangan kiri.
Keterangan: Untuk mengusap tangan ini, letakkan tangan kiri dibelakang tangan kanan, dimulai dari ujung jari di atas telapak tangan kiri, lalu usapkan telapak tangan kiri hingga siku kanan. Kembalikan dengan memindahkan posisi, yaitu ujung jari tangan kiri dipindahkan diatas pergelangan tangan. Begitu juga pada usapan tangan kiri(tentunya menggunakan tangan kanan.

2.9. Menyapu Sepatu
1.      Diperbolehkan menyapu sepatu
Menyapu dua sepatu (Mashul Khuffaini) termasuk juga salah satu keringan dalam islam. Keringan ini diperbolehkan bagi orang yang menetap (bermukim) dalam jangka waktu sehari semalam, dan bagi musafir (sedang dalam perjalanan)  tiga hari tiga malam. Masa tersebut terhitung sejak mulai berhadats (batal wudhu) sesudah memakai sepatu.
Keringanan itu maksudnya kalau ia hendak berwudhu maka bolehmenyapu sepatu yang dipakainya dengan air,tidak perlu sepatunya dilepas.
2.      Syarat-syarat menyapu sepatu
Syarat-syarat menyapu dua sepatu:
a.       Sepatu itu dipakai setelah sempurna di cuci.
b.      Sepatu itu menutup anggota kaki yang wajib dibasuh, yaitu menutupi tumit dan dua mata kaki.
c.       Seputu itu dapat dipakai berjalan lama.
d.      Tidak terdapat najis atau kotoran di dalam sepatu.
3.      Cara menyapu sepatu
a.       Mengusap dua sepatu dilakukan setelah membersihkan anggota wudhu secara urut dan tertib, baru yang trakhir usap dua sepatu.
b.      Disapukan dibagian atas sepatu dengan tanpa mengusap bagian bawahnay.
4.      Hal-hal yang membatalkan menyapu sepatu
Yang membatalkan menyapu sepatu adalah:
a.       Apabila kedua sepatu atau salah satu sepatu diantaranya terbuka baik dibuka dengan sengaja atau tercabut secara tidak sengaja.
b.      Habis masa yang ditentukan (sehari semalam bagi yang menetap dan tiga hari tiga malam bagi orang musafir)
c.       Apabila berhadats besar yang mewajibkan mandi.

2.10. Mandi
Mandi yang dimaksud di sini adalah mandi wajib, yaitu mandi yang berfungsi menghilangkan hadats besar, dengan cara meratakan air kesekujur tubuh menurut aturan-aturan yang telah ditentukan oleh agama, diantaranya:
a.       Niat, yaityu menyengaja mandi untuk menghilangkan hadats besar. Niat ini dibaca (dalam hati) ketika membasuh anggota tubuh yang pertama.
Lafazh niat mandi:
“nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari fardhan lillaahi ta’aalaa”
Artinya: “Aku niat (wajib) untuk menghilangkan hadats besar, fadhu karena Allah ta’aalaa”.
b.      Menghilangkan najis yang menempel dibadan.
c.       Mambasuh seluruh badan
d.      Meratakan air keseluruh rambut dan kulit (lipatannya).
1.      Rukun mandi
Rukun mandi wajib ada dua yaitu niat dan meratakan air keseluruh tubuh. Sedangkan sunnah nyaadalimayaitu:
1. Membaca basmalah pada saat mulai mandi
2. Berwudu sebelum mandi
3. Menggosok-gosokan badan dengan tangan ke seluruh tubuh
4. Menahulukan anggota badan yang kanan dari pada yang kiri
5. Berturut-turut dan tertib
Artinya:
Dari Ibnu Abas, Rasulullah SAW telah bersabda tentang orang mati karena terlontar oleh untanya, ka beliau: “mandikanlah dia olehmu dengan air dan bidara”. (H.R Bukhari dan Muslim)

2.      Sebab-sebab mandi
a.       Bersetubuh (hubunagn suami istri) baik keluar mania tau tidak.
b.      Keluar mani baik karena mimpi atau lainnya.
c.       Berhenti dari hsid (menstruasi).
d.      Berhenti dari nifas (darah yang keluar setelah melahirkan).
e.       Melahirkan baik kelahiranya normal atau keguguran
3.      Adapun hikmahnya yaitu :
a.   Dapat menetralisasi pengaruh kejiwaan yang ditimbulkan akibat pergaulan seksual.
b.   Dapat memulihkan kekuatan dan kesegaran , dan membersihkan kotoran.
c.   Menambah kekhusyuan dalam beribadah
d.   Dapat memulihkan kesadaran, kesegaran dan ketenangan pikiran


BAB 3 Penutup

3.1.Kesimpulan

Bersuci merupakan persyaratan dari beberapa macam ibadah, karena itu bersuci memperoleh tempat yang utama dalam ajaran Islam. Berbagai aturan dan hukum ditetapkan oleh syara dengan maksud antara lain agar manusia menjadi suci dan bersih baik lahir maupun batin. lahir dan batin merupakan pangkal keindahan dan kesehatan. Oleh karena itu hubungan kesucian dan kebersihan dengan keindahan dan kesehatan erat sekali. Pokok dari ajaran islam tentang pengaturan Kesucian dan kebersihan hidup bersih, suci dan sehat bertujuan agar setiap muslim dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai khalifah di muka bumi. Kebersihan dan kesucian lahir dan batin merupakan hal yang utama dan terpuji dalam ajaran Islam, karena dengan kesucian an kebersihan dapat meningkatkan derajat harkat dan martabat manusia di hadirat Allah SWT.

3.2.Saran-saran
Saya  sebagai penyusun makalah ini, sangat mengharap atas segala saran-saran dan kritikan bagi para pembaca yang kami hormati guna untuk membangun pada masa yang akan datang untuk menjadi yang lebih baik dalam membenarkan alur-alur yang semestinya kurang memuaskan bagi tugas yang kami laksanakan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar